Analisis: Beberapa Faktor Penyebab Naik Turun Performa yang Drastis dalam Esports

    Beberapa hal terlintas dalam pikiran saat membahas dunia olahraga, terutama bagi generasi yang tumbuh di era 2000’an seperti Roger Federer, Tiger Woods, hingga Manchester United dan Barcelona. Mereka punya persamaan: sama-sama mendominasi kompetisi pada masa jayanya.

    Walau demikian, semua itu sepertinya terbalik dalam kompetisi esports. Sering sekali tim yang menjadi juara pada musim sebelumnya justru tampil buruk di musim atau tahun berikutnya.

    Dalam kompetisi pro Dota di Eropa, contohnya, Team Secret (WEU) dan NaVi (EEU) menjadi perbincangan besar saat mereka terdegradasi ke divisi 2. Untuk nama yang disebut pertama, tentunya ini mengejutkan mengingat 3,5 bulan lalu mereka justru tampil kuat di The International 11. 

    Situasi yang sama terjadi di Asia Tenggara, di mana Boom Esports dan Fnatic kini harus berjuang dari Divisi 2. Merosotnya performa mereka tentu menimbulkan pertanyaan karena tahun lalu mereka tampil dominan di posisi tiga besar DPC SEA. Bahkan Boom mengejutkan penonton TI 11 saat mereka mengalahkan sang juara dari tahun sebelumnya, Team Spirit.

    Di luar skena Dota, kompetisi Pubg Mobile (PUBGM) pun tak luput dari kejutan seperti ini, terutama dalam kompetisi PMGC di Jakarta bulan januari lalu. Meski PMGC kerap didominasi oleh negara-negara dari Asia Timur dan Asia Tenggara, kompetisi musim ini justru dimenangkan oleh S2G dari Turki dan disusul oleh tim-tim Brazil di posisi kedua dan ketiga.

    Tidak bisa dipungkiri bahwa pasang surut yang terjadi dalam kompetisi esports ini menjadi tontonan menarik, yang membuat setiap musim dinantikan oleh penonton. Akan tetapi bagi pemain dan tim yang bertanding, situasi ini tentu semakin merugikan apabila tidak segera dicari jalan keluarnya.

    Lantas apakah yang membuat naik turun performa terjadi dengan cepat dalam kompetisi esports? Tim Ulti Asia berbicara dengan beberapa pelatih tim esports di Jakarta untuk membahas apa saja yang mempengaruhi performa tim saat pergantian musim.

    1.Kurang seriusnya tim menanggapi pra-musim

    Dengan jadwal kompetisi yang padat dalam setahun, tentunya waktu berlibur menjadi hari yang paling ditunggu bagi pro player untuk rileks sejenak. Walau demikian, beberapa menilai bahwa sebagian besar pemain saat ini terlalu santai dan tidak memikirkan pemanasan menghadapi pergantian musim.

    “Yang gue perhatiin tiap libur ganti musim itu banyak yang keenakan liburan,” ujar salah satu narasumber kami. “Padahal kalau di game, terutama moba kayak MLBB, Dota dan sejenisnya, perubahan meta itu cepat. Dan kapan lagi lu mau adaptasi buat musim baru kalau lebih lama liburan?”

    Ia menjelaskan bahwa dalam jeda musim kompetisi selalu ada scrim atau semacam kompetisi kecil yang dilakukan sebagai latihan pra-musim. Meski bukan pertandingan besar, Ia berpendapat bahwa porsi pra-musim seharusnya tak kalah penting dari menu latihan harian biasa. Bahkan dari scrim tersebut pelatih bisa menilai seberapa siap pemainnya beradaptasi dengan meta ataupun taktik dari lawan-lawan baru.

    Sayangnya, Ia menilai dalam beberapa musim bersama beberapa tim besar di Indonesia, dan Asia Tenggara, para pemain yang diasuhnya jarang menganggap serius laga pra-musim. Hal ini yang, menurutnya, menyebabkan tim-tim yang unggul di kompetisi musim sebelumnya kalah oleh tim-tim baru yang lebih serius dalam persiapan memasuki musim baru.

    “Gue nonton Tundra waktu scrim menjelang TI 11. Itu keren banget. Udah kayak lihat pertandingan gede. Harusnya tim-tim lain, terutama yang main moba, serius urusan ginian. Nyobain hal-hal baru biar punya opsi kalau taktiknya kebaca bisa gantian,” ucapnya.

    2.Meta yang terus berubah-ubah

    Berbeda dengan game genre fps atau simulasi olahraga yang cenderung mengandalkan mekanik, genre moba terkenal lebih kompleks dengan elemen micro dan macro gameplay yang kerap ditemui di game RPG dan RTS.

    Dengan pilihan karakter/hero yang jumlahnya sangat banyak, notabene ditemui di game moba, tentunya developer rajin melakukan update dalam game mereka untuk memastikan permainan yang seimbang. Hal ini kemudian berdampak dengan penyesuaian elemen-elemen dalam game, terutama hero yang digunakan. 

    Ambil contoh kompetisi The International 10 pada tahun 2021, di mana meta Magnus membawa Team Spirit menjadi pemenang saat menghadapi PSG.LGD di babak grand final. Namun secepatnya saat Magnus mendapatkan penyesuaian, tim Tundra justru diunggulkan dengan meta Wraith Pact berikutnya.

    Perubahan tersebut tentunya akan berpengaruh pula kepada pola permainan para pemain. Bisa jadi pemain-pemain yang kurang sesuai dengan meta sebelumnya justru tampil perkasa dengan meta baru, dan sebaliknya. 

    Dan berbicara mengenai meta, tentunya hal ini bisa diatasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yakni rutin mengikuti scrim atau laga pra-musim yang ada untuk beradaptasi dengan perubahan.

    3.Terlalu lama di zona nyaman

    Uang dan trofi tentunya menjadi motivasi bagi para pemain di penjuru dunia untuk terus meraih hasil yang terbaik. Walau demikian, narasumber kami merasa bahwa atlet esports, terutama untuk generasi baru, di Indonesia dan Asia Tenggara cenderung terlalu nyaman setelah merasakan kemenangan di tim besar.

    courtesy of ulti.asia

    “Jujur aja gue melihat di SEA, terutama di Indonesia, pemain-pemainnya cenderung udah puas begitu mereka menang kompetisi besar. Ketika dia dan timnya udah terkenal maka udah ngerasa jadi yang terbaik,” ucapnya.

    Ia tidak menutupi bahwa banyak pemain-pemain yang saat ini menjadi reguler di tim-tim kategori top tier mulai kehilangan gairah kompetitif setelah mendapatkan sponsor dan pemasukan besar dalam waktu cepat. Beberapa pemain yang tadinya bisa bermain konsisten dan disiplin mulai terdistraksi oleh hal-hal di luar kompetisi.

    “Gue rasa cuma pelatih tim sekarang ga cukup. Tim-tim besar butuh yang bisa menggembleng di luar permainan, seperti aspek mental, psikologis, dan semacamnya. Kalau keenakan terus siklusnya tiap ganti musim ya selalu melempem abis tampil bagus di musim sebelumnya.”

    4.Regenerasi yang terlalu cepat ataupun lambat

    Bukan rahasia apabila atlet esports, terutama di Asia, cenderung memulai karir di usia yang sangat muda. Beberapa contohnya seperti pro player tim Valorant dari Boom Esports, Thomas “Cud” Alfiantino, yang menjadi pro player Valorant termuda di SEA saat masih bersama Morph dan “Sanford” Marin Vinuya yang menjadi pemain termuda yang memenangkan M4 bersama tim Echo.

    Walau demikian, tak jarang pro player esports menutup karirnya di usia yang masih terbilang muda. Beberapa ada yang menjadi pengecualian, seperti Dendi dan Puppey di skena kompetitif Dota ataupun Karrigan di skena CS GO.

    Dan berbicara soal regenerasi, narasumber kami meyakini bahwa hal itu masih menjadi permasalahan yang serius. Ia merasa pertumbuhan pemain baru saat ini melambat dalam game-game besar, seperti Dota dan PUBGM.

    “Kalau esports memang Dota, CS GO, PUBGM, dan LoL itu gede. Tapi seperti Dota dan PUBGM aja sampai sekarang gue perhatiin masih banyak pemain lama. Harusnya pemain-pemain baru lebih sering main, ga cuma yang itu-itu aja,” keluhnya.

    Lebih lanjut, Ia merasa tanpa regenerasi pemain muda yang baik menyebabkan pemain-pemain yang sudah lama singgah di kompetisi profesional tidak termotivasi untuk berkembang. Dan ketika kompetisi mulai stagnan, penonton akan merasa bosan dan kemungkinan besar berhenti menyaksikan kompetisi saat idolanya mulai menua dan pensiun.

    Walau demikian, Ia juga tidak setuju apabila tim memutuskan untuk mengganti pemain terlalu cepat. Menurutnya tim esports optimalnya melakukan evaluasi dan regenerasi setelah dua tahun berkompetisi.

    5.Minimnya kreatifitas berujung burnout

    Penonton tentu mengharapkan tim favoritnya untuk “tidak memperbaiki yang tak rusak” setiap mereka menemukan formula kemenangan di musim sebelumnya. Dan sepertinya jargon itu terbukti untuk beberapa tim.

    Boom Esports mendapatkan kritikan dari fans usai melepas Tims, Skem, dan Jacky menjelang akhir tahun lalu. Meski akhirnya mendatangkan Xnova, Natsumi, dan Xepher, mereka justru gagal mengulang dominasi di DPC SEA seperti tahun 2022 dan jatuh ke divisi 2. 

    Hal serupa juga dialami oleh Team Secret di Eropa, di mana mereka dikritik habis-habisan saat melepas Nisha ke rivalnya, Team Liquid. Pada akhirnya Team Secret terdegradasi ke divisi 2 dan Nisha bersinar dengan Team Liquid sebagai tim tak terkalahkan di putaran Winter Tour 2023.

    Dua kejadian ini membuat banyak penonton esports merasa bahwa perubahan lineup tak perlu dilakukan terlalu cepat karena berpengaruh besar terhadap taktik tim. Walau demikian, narasumber kami merasa bahwa ada hal di luar pergantian pemain yang turut mempengaruhi stabilitas tim. Salah satunya adalah kreatifitas.

    “Transfer pemain itu lumrah. Justru menurut gue yang lebih penting saat musim baru itu perubahan, hal-hal yang memancing kreatifitas,” ucapnya. “Suasana tim tuh seharusnya dinamis, supaya nggak bosan dan coach perlu memikirkan sesuatu yang tidak biasa, semisal mencoba taktik baru untuk membuat pemainnya terus penasaran.”

    Ia juga mengungkapkan bahwa ketika melatih tim, salah satu tantangannya memastikan tak ada pemain yang merasa lebih terbebani dibandingkan yang lain. Menurutnya semakin sering pemain terbebani maka semakin cepat Ia merasa burnout dalam berkompetisi.

    “Kalau lu bisa memikirkan sesuatu yang kreatif tiap ganti musim maka lu gak akan bingung dengan rotasi taktik atau pemain. Ketika pemain mulai merasa tertekan itu besar kemungkinan dia buntu karena gak ada taktik lain,” ucapnya.

    + posts